Wednesday, August 17, 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONEASIA
NOMOR 69 TAHUN 1999
TENTANG
LABEL DAN IKLAN PANGAN


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang :
a. bahwa salah satu tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan
adalah terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab;
b. bahwa label dan iklan pangan merupakan sarana dalam kegiatan perdagangan pangan yang
memiliki arti penting, sehingga perlu diatur dan dikendalikan agar informasi mengenai pangan
yang disampaikan kepadamasyarakat adalah benar dan tidak menyesatkan;
c. bahwa masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan
mengenai pangan yang akan dikonsumsinya, khususnya yang disampaikan melalui label dan
iklan pangan;
d. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan, dipandang perlu mengatur tentang label dan iklan pangan
dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran NegaraTahun 1996
Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman.
2. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu
dengan atau tanpa bahan tambahan.
3. Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan,
kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam,
ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam
Peraturan Pemerintah ini disebut Label.
4. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.
5. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan
kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh
imbalan.
6. Setiap orang adalah orang perseorangan dan badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun tidak.
7. Standar Nasional Indonesia adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi
Nasional (BSN).

BAB II
LABEL PANGAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 2
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan
atau di kemasan pangan.
(2) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa
sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta
terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Pasal 3
(1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai
pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :
1. nama produk;
2. daftar bahan yang digunakan;
3. berat bersih atau isi bersih;
4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia.
5. tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa.
Pasal 4
Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), untuk pangan olahan tertentu Menteri Kesehatan dapat menetapkan pencantuman keterangan lain yang berhubungan dengan kesehatan manusia pada label sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 5
(1) Keterangan dan atau pernyataan tentang pangan dalam Label harus benar dan tidak
menyesatkan, baik mengenai tulisan, gambar, atau bentuk apapun lainnya.
(2) Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang pangan yang
diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan Label apabila keterangan atau
pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan.
Pasal 6
(1) Pencantuman pernyataan tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam Label hanya
dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan persyaratan pencantuman pernyataan tentang
manfaat pangan bagi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri Kesehatan.
Pasal 7
Pada Label dilarang dicantumkan pernyataan atau keterangan dalam bentuk apapun bahwa
pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat.
Pasal 8
Setiap orang dilarang mencantumkan pada Label tentang nama, logo atau identitas lembaga
yang melakukan analisis tentang produk pangan tersebut.
Pasal 9
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang
dikemas untuk diperdagangkan, dilarang mencantumkan Label yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 10
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal
bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.
(2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Label.
Pasal 11
(1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke
dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu
(2) pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman
dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan
dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi dibidang tersebut.
Bagian Kedua
Bagian Utama Label
Pasal 12
Dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2), bagian utama Label sekurangkurangnya memuat :
a. nama produk;
b. berat bersih atau isi bersih;
c. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia.
Pasal 13
(1) Bagian utama Label sekurang-kurangnya memuat tulisan tentang keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan teratur, tidak berdesak-desakan, jelas dan
dapat mudah dibaca.
(2) Dilarang menggunakan latar belakang, baik berupa gambar, warna maupun hiasan
lainnya, yang dapat mengaburkan tulisan pada bagian utama Label sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 14
Bagian utama Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 harus ditempatkan pada sisi
kemasan pangan yang paling mudah dilihat, diamati dan atau dibaca oleh masyarakat pada
umumnya.
Bagian Ketiga
Tulisan pada Label
Pasal 15
Keterangan pada Label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.
Pasal 16
(1) Penggunaan bahasa, angka dan huruf selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf
Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan
padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan keluar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca.
Bagian Keempat
Nama Produk Pangan
Pasal 17
(1) Nama produk pangan harus menunjukkan sifat dan atau keadaan yang sebenarnya.
(2) Penggunaan nama produk pangan tertentu yang sudah terdapat dalam Standar Nasional
Indonesia, dapat diberlakukan wajib dengan keputusan Menteri teknis.
(3) Penggunaan nama selain yang termasuk dalam Standar Nasional Indonesia harus
menggunakan nama yang lazim atau umum, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 4
ayat (1).
Pasal 18
(1) Dalam hal produk pangan telah memenuhi persyaratan tentang nama produk pangan yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, produk pangan yang bersangkutan dapat
menggunakan nama jenis produk pangan yang telah ditetapkan.
(2) Dalam hal nama jenis produk pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia, produk pangan yang bersangkutan dapat
menggunakan nama jenis produk pangan yang ditetapkan oleh Menteri teknis sepanjang
memenuhi persyaratan bagi penggunaan nama jenis produk pangan yang bersangkutan.
(3) Produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Standar
Nasional Indonesia atau Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dilarang menggunakan nama jenis produk yang diberikan bagi produk pangan yang telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Bagian Kelima
Keterangan tentang Bahan Yang Digunakan
Pasal 19
(1) Keterangan tentang bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan
dicantumkan pada Label sebagai daftar bahan secara berurutan dimulai dari bagian yang
terbanyak, kecuali vitamin, mineral dan zat penambah gizi lainnya.
(2) Nama yang digunakan bagi bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nama yang lazim digunakan.
(3) Dalam hal nama bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah ditetapkan dalam Standar Nasional
Indonesia, pencantumannya pada Label hanya dapat dilakukan apabila nama bahan yang
bersangkutan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia.
Pasal 20
(1) Air yang ditambahkan harus dicantumkan sebagai komposisi pangan, kecuali apabila air
itu merupakan bagian dari bahan yang digunakan.
(2) Air atau bahan pada pangan yang mengalami penguapan seluruhnya selama proses
pengolahan pangan, tidak perlu dicantumkan.
Pasal 21
Pencantuman pernyataan pada Label bahwa pangan telah ditambah, diperkaya atau difortifikasi
dengan vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lain tidak dilarang, sepanjang hal tersebut
benar dilakukan pada saat pengolahan pangan tersebut, dan tidak menyesatkan.
Pasal 22
(1) Untuk pangan yang mengandung Bahan Tambahan Pangan, pada Label wajib
dicantumkan golongan Bahan Tambahan Pangan.
(2) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan yang digunakan memiliki nama Bahan Tambahan
Pangan dan atau kode internasional, pada Label dapat dicantumkan nama Bahan
Tambahan dan kode internasional dimaksud, kecuali Bahan Tambahan Pangan berupa
pewarna.
(3) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan berupa pewarna, selain pencantuman golongan dan
nama Bahan Tambahan Pangan, pada Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang
bersangkutan.
Bagian Keenam
Keterangan tentang Berat Bersih atau Isi Bersih Pangan
Pasal 23
Berat bersih atau isi bersih harus dicantumkan dalam satuan metrik :
a. dengan ukuran isi untuk makanan cair;
b. dengan ukuran ukuran berat untuk makanan padat;
c. dengan ukuran isi atau berat untuk makanan semi padat atau kental.
Pasal 24
Pangan yang menggunakan medium cair harus disertai pula penjelasan mengenai berat bersih
setelah dikurangi medium cair.
Pasal 25
Label yang memuat keterangan jumlah takaran saji harus memuat keterangan tentang berat
bersih atau isi bersih tiap takaran saji.
Bagian Ketujuh
Keterangan tentang Nama dan Alamat
Pasal 26
(1) Nama dan alamat pihak yang memproduksi pangan wajib dicantumkan pada Label.
(2) Dalam hal menyangkut pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, selain
keterangan sebagaimana dimaksud dlam ayat (1), pada Label wajib pula dicantumkan
nama dan alamat pihak yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
(3) Dalam hal pihak yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) berbeda dari pihak yang mengedarkannya di dalam wilayah
Indonesia, selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pada Label wajib
pula dicantumkan nama dan alamat pihak yang mengedarkan tersebut.
Bagian Kedelapan
Tanggal Kedaluwarsa
Pasal 27
(1) Tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
wajib dicantumkan secara jelas pada Label.
(2) Pencantuman tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan setelah pencantuman tulisan “Baik Digunakan Sebelum”, sesuai dengan
jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan.
(3) Dalam hal produk pangan yang kedaluwarsanya lebih dari 3 (tiga) bulan, diperbolehkan
untuk hanya mencantumkan bulan dan tahun kedaluwarsa saja.
Pasal 28
Dilarang memperdagangkan pangan yang sudah melampaui tanggal, bulan dan tahun
kedaluwarsa sebagaimana dicantumkan pada Label.
Pasal 29
Setiap orang dilarang :
a. menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali pangan yang
diedarkan;
b. menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan.
Bagian Kesembilan
Nomor Pendaftaran Pangan
Pasal 30
Dalam rangka peredaran pangan, bagi pangan olahan yang wajib didaftarkan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik produksi dalam negeri maupun yang
dimasukkan kedalam wilayah Indonesia, pada label pangan olahan yang bersangkutan harus
dicantumkan Nomor Pendaftaran Pangan.
Bagian Kesepuluh
Keterangan tentang Kode Produksi Pangan
Pasal 31
(1) Kode produksi pangan olahan wajib dicantumkan pada Label, wadah atau kemasan
pangan, dan terletak pada bagian yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
(2) Kode produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya dapat
memberikan penjelasan mengenai riwayat produksi pangan yang bersangkutan.
Bagian Kesebelas
Keterangan tentang Kandungan Gizi
Pasal 32
(1) Pencantuman keterangan tentang kandungan gizi pangan pada Label wajib dilakukan bagi
pangan yang :
a. disertai pernyataan bahwa pangan mengandung vitamin, mineral, dan atau zat gizi
lainnya yang ditambahkan ;atau
b. dipersyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang mutu dan gizi pangan, wajib ditambahkan vitamin, mineral, dan atau zat
gizi lainnya.
(2) Keterangan tentang kandungan gizi pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dicantumkan dengan urutan :
a. Jumlah keseluruhan energi, dengan perincian berdasarkan jumlah energi yang
berasal dari lemak, protein dan karbohidrat;
b. Jumlah keseluruhan lemak, lemak jenuh, kolesterol, jumlah keseluruhan karbohidrat,
serat, gula, protein, vitamin, dan mineral.
(3) Jika pelabelan kandungan gizi digunakan pada suatu pangan, maka pada Label untuk
pangan tersebut wajib memuat hal-hal berikut :
a. ukuran takaran saji;
b. jumlah sajian per kemasan;
c. kandungan energi per takaran saji;
d. kandungan protein per sajian (dalam gram);
e. kandungan karbohidrat per sajian (dalam gram)
f. kandungan lemak per sajian (dalam gram)
g. persentase dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan.
Pasal 33
(1) Pencantuman pernyataan pada Label bahwa pangan merupakan sumber suatu zat gizi
tidak dilarang sepanjang jumlah zat gizi dalam pangan tersebut sekurang-kurangnya
10% lebih banyak dari jumlah kecukupan zat gizi sehari yang dianjurkan dalam satu
takaran saji bagi pangan tersebut.
(2) Pencantuman pernyataan pada Label bahwa pangan mengandung suatu zat gizi lebih
unggul dari pada produk pangan yang lain, dilarang.
Bagian Keduabelas
Keterangan Tentang Iradiasi Pangan Dan
Rekayasa Genetika
Pasal 34
(1) Pada Label untuk pangan yang mengalami perlakuan iradiasi wajib dicantumkan tulisan
PANGAN IRADIASI, tujuan iradiasi, dan apabila tidak boleh diiradiasi ulang, wajib
dicantumkan tulisan TIDAK BOLEH DIIRADIASI ULANG.
(2) Dalam hal pangan yang mengalami perlakuan iradiasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan, pada Label
cukup dicantumkan keterangan tentang perlakuan iradiasi pada bahan yang diiradiasi
tersebut saja.
(3) Selain pencantuman tulisan sebagaimana dimaksud ayat (1), pada Label dapat dicantumkan
logo khusus pangan iradiasi.
(4) Selain keterangan sebagaimana dimaksud ayat (1), pada Label harus tercantum :
a. nama dan alamat penyelenggara iradiasi, apabila iradiasi tidak dilakukan sendiri oleh
pihak yang memproduksi pangan;
b. tanggal iradiasi dalam bulan dan tahun;
c. nama negara tempat iradiasi dilakukan.
Pasal 35
(1) Pada Label untuk pangan hasil rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan PANGAN
REKAYASA GENETIKA.
(2) Dalam hal pangan hasil rekayasa genetika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan, pada Label cukup
dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang
merupakan pangan hasil rekayasa genetika tersebut saja.
(3) Selain pencantuman tulisan sebagaimana dimaksud ayat (1), pada Label dapat
dicantumkan logo khusus pangan hasil rekayasa genetika.
Bagian Ketigabelas
Keterangan tentang Pangan Sintetis yang Dibuat dari
Bahan Baku Alamiah
Pasal 36
(1) Pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah dapat diberi label yang memuat
keterangan bahwa pangan itu berasal dari bahan alamiah tersebut, apabila pangan itu
mengandung bahan alamiah yang bersangkutan tidak kurang dari kadar minimal yang
ditetapkan dalam Standardisasi Nasional Indonesia.
(2) Pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah yang telah menjalani proses lanjutan,
pada labelnya wajib diberi keterangan yang menunjukkan bahwa bahan yang
bersangkutan telah mengalami proses lanjutan.
Pasal 37
Pada Label untuk pangan yang dibuat tanpa menggunakan atau hanya sebagian menggunakan
bahan baku alamiah dilarang mencantumkan pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang
bersangkutan seluruhnya dibuat dari bahan alamiah.
Bagian Keempatbelas
Keterangan Lain Pada Label tentang Pangan Olahan Tertentu
Pasal 38
Keterangan pada Label tentang pangan olahan yang diperuntukkan bagi bayi, anak berumur
dibawah lima tahun, ibu yang sedang hamil atau menyusui, orang yang menjalani diet khusus,
orang lanjut usia, dan orang yang berpenyakit tertentu, wajib memuat keterangan tentang
peruntukan, cara penggunaan, dan atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk
mengenai dampak pangan tersebut terhadap kesehatan manusia.
Pasal 39
(1) Pada Label untuk pangan olahan yang memerlukan penyiapan dan atau
penggunaannya dengan cara tertentu, wajib dicantumkan keterangan tentang cara
penyiapan dan atau penggunaannya dimaksud.
(2) Apabila pencantuman keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mungkin dilakukan pada Label, maka pencantuman keterangan dimaksud
sekurangkurangnya dilakukan pada wadah atau kemasan Pangan.
Pasal 40
Dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan atau memerlukan cara
penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang cara penyimpanan harus dicantumkan pada label.
Pasal 41
Pada Label untuk pangan yang terbuat dari bahan setengah jadi atau bahan jadi, dilarang
dimuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut dibuat dari bahan yang segar.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41 ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Bagian Kelimabelas
Keterangan tentang Bahan Tambahan Pangan
Pasal 43
(1) Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), pada Label untuk
Bahan Tambahan Pangan wajib dicantumkan :
a. tulisan Bahan Tambahan Pangan;
b. nama golongan Bahan Tambahan Pangan;
c. nama Bahan Tambahan Pangan, dan atau nomor kode internasional yang
dimilikinya.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan persyaratan tentang Label Bahan
Tambahan Pangan diatur oleh Menteri Kesehatan.
BAB III
IKLAN PANGAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 44
(1) Setiap Iklan tentang pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai
pangan secara benar dan tidak menyesatkan, baik dalam bentuk gambar atau pernyataan
dan atau bentuk apapun lainnya.
(2) Setiap Iklan tentang pangan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kesusilaan
dan ketertiban umum.
Pasal 45
(1) Setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia
pangan untuk diperdagangkan, dilarang memuat pernyataan dan atau keterangan yang
tidak benar dan atau yang dapat menyesatkan dalam Iklan.
(2) Penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang
dipergunakan untuk menyebarkan Iklan, turut bertanggungjawab terhadap isi Iklan yang
tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk
meneliti kebenaran isi Iklan yang bersangkutan.
(3) Untuk kepentingan pengawasan, penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau
televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan Iklan dilarang
merahasiakan identitas, nama dan alamat pemasang Iklan.
Pasal 46
Setiap orang yang menyatakan dalam Iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai
dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataan tersebut.
Pasal 47
(1) Iklan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluaskan
dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya.
(2) Iklan dilarang semata-mata menampilkan anak-anak berusia dibawah 5 (lima) tahun dalam
bentuk apapun, kecuali apabila pangan tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang
berusia dibawah 5 (lima) tahun.
(3) Iklan tentang pangan olahan tertentu yang mengandung bahan-bahan yang berkadar
tinggi yang dapat membahayakan dan atau mengganggu pertumbuhan dan atau
perkembangan anak-anak dilarang dimuat dalam media apapun yang secara khusus
ditujukan untuk anak-anak.
(4) Iklan tentang pangan yang diperuntukkkan bagi bayi yang berusia sampai dengan 1 (satu)
tahun, dilarang dimuat dalam media massa, kecuali dalam media cetak khusus tentang
kesehatan, setelah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan, dan dalam iklan yang
bersangkutan wajib memuat keterangan bahwa pangan yang bersangkutan bukan
penggganti ASI.
Bagian Kedua
Iklan Pangan yang Berkaitan dengan
Gizi dan Kesehatan
Pasal 48
Pernyataan dalam bentuk apapun tentang manfaat pangan bagi kesehatan yang dicantumkan
pada Iklan dalam media massa, harus disertai dengan keterangan yang mendukung pernyataan
itu pada Iklan yang bersangkutan secara jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Pasal 49
(1) Iklan dalam media massa yang menyatakan bahwa pangan tersebut adalah pangan yang
diperuntukkan bagi orang yang menjalankan diet khusus, wajib mencantumkan unsurunsur
dari pangan yang mendukung pernyataan tersebut.
(2) Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Iklan tersebut wajib pula
memuat keterangan tentang kandungan gizi pangan serta dampak yang mungkin terjadi
apabila pangan tersebut dikonsumsi oleh orang lain yang tidak menjalankan diet khusus
dimaksud.
Pasal 50
Iklan dilarang memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber
energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan.
Bagian Ketiga
Iklan tentang Pangan untuk Kelompok Orang Tertentu
Pasal 51
(1) Iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi dan atau anak berumur dibawah lima
tahun wajib memuat keterangan mengenai peruntukannya.
(2) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Iklan dimaksud harus pula
memuat peringatan mengenai dampak negatif pangan yang bersangkutan bagi kesehatan.
Pasal 52
Iklan tentang pangan olahan yang mengandung bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan
dan atau kesehatan anak wajib memuat peringatan tentang dampak negatif pangan tersebut
bagi pertumbuhan dan kesehatan anak.
Pasal 53
Iklan dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat
berfungsi sebagai obat.
Bagian Keempat
Iklan yang berkaitan dengan Asal dan Sifat Bahan Pangan
Pasal 54
Iklan tentang pangan yang dibuat tanpa menggunakan atau hanya sebagian menggunakan
bahan baku alamiah dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang
bersangkutan seluruhnya dibuat dari bahan alamiah.
Pasal 55
Iklan tentang pangan yang dibuat dari bahan setengah jadi atau bahan jadi, dilarang memuat
pernyataan atau keterangan bahwa pangan tersebut dibuat dari bahan yang segar.
Pasal 56
Iklan yang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan telah diperkaya dengan vitamin,
mineral, atau zat penambah gizi lainnya tidak dilarang, sepanjang hal tersebut benar dilakukan
pada saat pengolahan pangan tersebut.
Pasal 57
Pangan yang dibuat atau berasal dari bahan alamiah tertentu hanya dapat diiklankan sebagai
berasal dari bahan baku alamiah tersebut, apabila pangan tersebut mengandung bahan alamiah
yang bersangkutan tidak kurang dari persyaratan minimal yang ditetapkan dalam Standar
Nasional Indonesia.
Bagian Kelima
Iklan tentang Minuman Beralkohol
Pasal 58
(1) Setiap orang dilarang mengiklankan minuman beralkohol dalam media massa apapun.
(2) Minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah minuman berkadar
etanol (C2H5OH) lebih dari atau sama dengan 1% (satu per seratus).
BAB IV
PENGAWASAN
Bagian Pertama
Kelembagaan
Pasal 59
Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan tentang Label dan Iklan dilaksanakan oleh
Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Pejabat Pemeriksa
Pasal 60
(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Menteri
Kesehatan menunjuk pejabat untuk diserahi tugas pemeriksaan.
(2) Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih dan ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan berdasarkan keahlian tertentu yang dimiliki.
(3) Pejabat pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Kesehatan.
BAB V
TINDAKAN ADMINISTRATIF
Pasal 61
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk
menarik produk pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000.00(limapuluh juta rupiah), dan atau;
f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
(3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b,c,d,e dan
f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a diberikan sebanyak-banyaknya tiga kali.
(4) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuai dengan kewenangannya berdasarkan masukan
dari Menteri Kesehatan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 62
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan
tentang Label dan Iklan yang telah ada dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini,
dinyatakan tidak berlaku.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 63
Ketentuan tentang Label sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku
bagi :
a. pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh
keterangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah;
b. pangan yang dijual dan dikemas secara langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecil;
c. pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Juli 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Juli 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULYADI


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 131
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 69 TAHUN 1999
TENTANG
LABEL DAN IKLAN PANGAN
UMUM
Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan salah satu
tujuan penting pengaturan, pembinaan, dan pengawasan di bidang pangan sebagaimana
dikehendaki oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Salah satu upaya
untuk mencapai tertib pengaturan dibidang pangan adalah melalui pengaturan di bidang label
dan iklan pangan, yang dalam prakteknya selama ini belum memperoleh pengaturan
sebagaimana mestinya.
Banyaknya pangan yang beredar di masyarakat tanpa mengindahkan ketentuan tentang
pencantuman label dinilai sudah meresahkan. Perdagangan pangan yang kedaluwarsa,
pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi pangan atau perbuatan-perbuatan
lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan
keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui
penipuan pada label pangan atau melalui iklan. Label dan iklan pangan yang tidak jujur dan atau
menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.
Dalam hubungannya dengan masalah label dan iklan pangan maka masyarakat perlu
memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas
maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasaran. Informasi
pada label pangan atau melalui iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar supaya masingmasing
individu secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau
mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan
dapat terjadi.
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi
kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikkut
sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh
perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Persaingan dalam perdagangan pangan diatur
supaya pihak yang memproduksi pangan dan pengusaha iklan diwajibkan untuk membuat iklan
secara benar dan tidak menyesatkan masyarakat melalui pencantuman label dan iklan pangan
yang memuat keterangan mengenai pangan dengan jujur.
Pemerintah menyadari perkembangan teknologi pangan sangat berpengaruh terhadap
pelabelan pangan. Perkembangan tersebut tidak mungkin dicakupi secara keseluruhan melalui
Peraturan Pemerintah ini. Namun, hal itu tidak mungkin pula untuk dikesampingkan tanpa
membuka peluang untuk pengaturan lebih lanjut. Dalam kondisi yang demikian, Peraturan
Pemerintah ini sekaligus memerintahkan kepada instansi terkait untuk mengaturnya manakala
diperlukan. Sudah barang tentu pengaturannya disesuaikan dengan lingkup tugas dan
kewenangan yang melekat pada instansi yang bersangkutan.
Tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu diinformasikan
secara benar dan tidak menyesatkan melalui label dan atau iklan pangan, namun perlindungan
secara batiniah perlu diberikan kepada masyarakat. Masyarakat Islam merupakan jumlah
terbesar dari penduduk Indonesia yang secara khusus dan non diskriminatif perlu dilindungi
melalui pengaturan halal. Bagaimanapun juga, kepentingan agama atau kepercayaan lainnya
tetap dilindungi melalui tanggungjawab pihak yang memproduksi pangan atau memasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan bagi keperluan tersebut.
Selai daripada keterangan-keterangan yang wajib dimuat pada label sebagaimana diinginkan
oleh Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun1996 tentang Pangan, diatur juga hal-hal
yang sekiranya dapat diinformasikan kepada masyarakat. Untuk menampung pengaturan
tersebut maka pokok-pokok yang mendasari pengaturan yang berkaitan dengan label tentang
nutrisi atau gizi bagi kepentingan kelompok masyarakat tertentu diatur di dalam Peraturan
Pemerintah ini. Pengaturan selanjutnya diserahkan kepada Menteri Kesehatan yang lebih
memahami tentang aspek kesehatan masyarakat, termasuk akibat sampingan pangan tertentu
terhadap kesehatan kelompok masyarakat tertentu.
Sebagaimana telah diuraikan diatas, pengaruh pangan yang dikonsumsi terhadap kesehatan
manusia perlu diwaspadai. Oleh karena itu, iklan tentang pangan perlu secara khusus diatur dan
dikendalikan dengan sebaik-baiknya melalui Peraturan Pemerintah ini. Penggunaan anak-anak
berusia di bawah lima tahun secara tegas dilarang untuk mengiklankan pangan yang tidak
secara khusus ditujukan untuk konsumsi oleh mereka. Larangan ini sangat diperlukan untuk
menghindarkan anak-anak terhadap pengaruh iklan yang bersifat negatif atau menyesatkan
yang secara mudah diterima oleh anak-anak yang secara alamiah belum mampu membedakan
hal-hal yang baik atau yang buruk.
Peraturan Pemerintah ini mewajibkan agar label ditulis dengan menggunakan bahasa
Indonesia, angka Arab dan atau huruf Latin. Ketentuan ini berlaku mengikat tidak hanya
terhadap pangan yang diproduksi di dalam negeri, namun berlaku juga terhadap pangan yang
dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan. Tujuan pengaturan ini
dimaksudkan agar informasi tentang pangan dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat,
baik dikota maupun didesa-desa.
Dengan tidak mengesampingkan pengaturan yang sudah ada dalam lingkungan Undangundang
yang mengatur tentang Kesehatan, maka Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan
Pangan sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan
merupakan pelengkap terhadap pengaturan yang sudah ada. Tujuan daripada pengaturan
tersebut adalah untuk lebih memperkuat jaminan kepastian hukum bagi masyarakat yang
mengkonsumsi pangan.
Pada akhirnya, keterpaduan tugas di bidang pengawasan dalam pelaksanaan Peraturan
Pemerintah ini sangat tergantung pada kemampuan aparatur negara untuk menghindari
timbulnya ekses yang tidak diharapkan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “pangan olahan tertentu” dalam ketentuan ini adalah pangan
olahan untuk konsumsi bagi kelompok tertentu, misalnya susu formula untuk bayi,
pangan yang diperuntukan bagi ibu hamil atau menyusui, pangan khusus bagi penderita
penyakit tertentu, atau pangan lain sejenis yang mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan kualitas kesehatan manusia.
Pasal 5
Ayat (1)
Keterangan tidak benar adalah suatu keterangan yang isinya bertentangan dengan
kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan
tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan.
Keterangan yang menyesatkan adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti
sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat atau keamanan pangan yang meskipun
benar dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan
yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pernyataan (klaim) tentang manfaat kesehatan di dalam Peraturan
Pemerintah ini adalah pernyataan bahwa produk pangan tertentu mengandung zat gizi dan
atau zat non gizi tertentu yang bermanfaat jika dikonsumsi atau tidak boleh dikonsumsi
bagi kelompok tertentu, misalnya untuk anak-anak berusia dibawah umur lima tahun,
kelompok lanjut usia, ibu hamil dan menyusui, dan sebagainya.
Yang dimaksud bahwa pernyataan tersebut hanya dapat dicantumkan pada label atau
iklan apabila secara ilmiah hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan adalah, antara lain
melalui uji laboratorium atau uji klinis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pangan yang berdasarkan fakta ilmiah bermanfaat
bagi kesehatan, tidak boleh diiklankan sebagai obat.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan merupakan
kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.
Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan
bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari
mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram).
Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi
bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam
memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang
memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib
mencantumkan tulisan halal pada label produknya. Untuk menghindarkan timbulnya
keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal tadi, dan dengan
demikian juga untuk kepentingan kelangsungan atau kemajuan usahanya, sudah pada
tempatnya bila pangan yang dinyatakannya sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih
dahulu pada lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketentraman dan keyakinan umat
Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama.
Ayat (2)
Lembaga keagamaan dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman ini bersifat
umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “bagian utama label pangan” adalah bagian dari label yang
memuat keterangan paling penting untuk diketahui oleh konsumen.
Pasal 13
Ayat (1)
Selain ketiga keterangan sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan ini, maka
keterangan tentang halal dapat dicantumkan pada bagian utama label pangan, agar
mudah dilihat dan diketahui oleh masyarakat yang akan membelinya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia, harus
menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor,
dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dengan perkembangan teknologi di bidang pangan maka terdapat produk pangan tertentu
yang tidak atau belum memiliki nama produk, misalnya makanan ringan yang dikenal
dengan istilah snacks seperti chiki, tazzos, dan lain-lain. Oleh karena itu cukup
dicantumkan nama jenis produk pangan yang bersangkutan, seperti makanan ringan.
Ketentuan ini hanya mengijinkan penggunaan bahasa asing secara terbatas, yaitu dalam
hal tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Dengan mencantumkan jumlah air yang digunakan sebagai campuran suatu produk
pangan maka setiap orang yang akan mengkonsumsi pangan dapat mengetahui jumlah
berat bersih pangan yang bersangkutan
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Penggunaan kata “tidak menyesatkan” dimaksudkan karena meskipun pengkayaan atau
penambahan vitamin, mineral atau zat gizi benar dilakukan pada saat pengolahan, tetapi
pencantuman pernyataan atas pengkayaan tersebut masih mungkin tetap dapat
menyesatkan misalnya dalam hal untuk jenis pangan yang bersangkutan karena pola
pengkonsumsiannya, pengkayaan tersebut tidak membawa manfaat apapun bagi
konsumen kecuali manfaat komersial yang diperoleh produsen.
Pasal 22
Ayat (1)
Pencantuman nama golongan Bahan Tambahan Pangan diperlukan agar setiap orang
yang mengkonsumsi pangan secara jelas dapat mengetahui jenis-jenis Bahan Tambahan
Pangan yang dipergunakan.
Ayat (2)
Kewajiban untuk mencantumkan nomor kode internasional memudahkan bagi setiap orang
yang memproduksi ataupun mengkonsumsi pangan tertentu sekaligus memudahkan
pengawasannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Yang dimaksudkan dengan berat bersih setelah dikurangi medium cair adalah berat bersih
pangan dalam keadaan tidak dicampuri air (berat setelah ditiris).
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh informasi tentang produsen
asal maupun importir pangan yang bersangkutan di Indonesia.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh informasi yang lengkap,
yaitu baik importir maupun distributor pangan yang bersangkutan.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Meskipun keterangan yang digunakan adalah kata “baik digunakan sebelum”, namun hal
ini tidak mengurangi makna ketentuan yang menyatakan tentang larangan
memperdagangkan pangan yang melampaui saat kedaluwarsanya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Nomor Pendaftaran Pangan adalah nomor yang diberikan bagi pangan olahan yang
dimaksud dalam ketentuan ini dalam rangka peredaran pangan.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “riwayat produksi” adalah penjelasan mengenai waktu produksi
atau rangkaian mata rantai produksi.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan jumlah keseluruhan hanya berlaku untuk kalori, lemak dan
karbohidrat. Untuk kalori artinya kalori total yang berasal dari lemak, protein dan
karbohidrat. Untuk lemak artinya lemak total, sedangkan untuk karbohidrat artinya
karbohidrat total.
Ayat (3)
Angka kecukupan gizi atau dikenal dengan istilah Recomended Dietary Allowance of
Nutrients merupakan pengertian dibidang gizi yang dianut di Indonesia, yang
mendasarkan perhitungannya sesuai dengan pola konsumsi pangan dan kebutuhan gizi
manusia Indonesia sendiri, yang dalam hal ini tidak sama dengan yang berlaku di negaranegara
lain karena adanya perbedaan geografis, pola makan, dan lain-lain.
Pasal 33
Ayat (1)
Ayat ini melarang pencantuman pernyataan pada label pangan bahwa sesuatu pangan
merupakan sumber sesuatu zat gizi tertentu, kecuali bila jumlah zat gizi dalam pangan
tersebut sekurang-kurangnya 10% dari jumlah zat gizi harian yang dianjurkan dalam satu
takaran saji. Ketentuan mengenai jumlah minimal dari suatu zat gizi yang diijinkan diatur di
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Dalam hal belum ada pengaturannya maka
Menteri Kesehatan berwenang untuk menetapkan kadar minimal yang wajib dipenuhi
dalam produksi pangan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini tulisan PANGAN IRADIASI tidak perlu dicantumkan pada produk
tersebut, melainkan cukup dengan keterangan pada bahan yang digunakan itu saja bahwa
bahan yang digunakan tersebut telah mengalami perlakuan diiradiasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini tulisan PANGAN REKAYASA GENETIKA tidak perlu dicantumkan
pada produk tersebut, melainkan cukup dengan keterangan pada bahan yang digunakan
itu saja bahwa bahan yang digunakan tersebut merupakan pangan hasil rekayasa
genetika.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Pencantuman keterangan tentang tata cara penyiapan dan atau penggunaan pangan
olahan perlu dilakukan secara jelas dan mudah dimengerti, khususnya mengenai tata
urutannya, agar pangan yang bersangkutan dapat dikonsumsi sesuai dengan tujuannya,
serta untuk menghindari adanya kesalahan dalam penyiapannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Informasi tentang cara penyimpanan sangat diperlukan bagi konsumen, karena kekeliruan
pada cara penyimpanan dapat mempercepat penurunan mutu pangan atau membuat
pangan tertentu tersebut cepat rusak, misalnya untuk pangan yang harus disimpan di
tempat yang sejuk akan mengalami penurunan mutu apabila tidak disimpan di dalam
lemari es, atau tidak disimpan di tempat yang sejuk.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Peraturan pelaksanaan tersebut, antara lain mengatur tentang hal-hal sebagai berikut :
1. Pangan yang mengandung bahan tambahan pangan golongan anti oksidan,
pemanis buatan, pengawet, pewarna dan penguat rasa harus dicantumkan pula
nama bahan tambahan pangan, dan nomor indek khusus untuk pewarna;
2. Peringatan misalnya konsumsi berlebihan mempunyai efek laksatif;untuk pemanis
buatan aspartam mencantumkan peringatan Fenilketonurik : mengandung
fenilalanin; pada label sediaan pemanis buatan dan pangan yang mengandung
pemanis buatan mencantumkan tulisan yang menyatakan bahwa pangan tersebut
untuk penderita diabetes dan atau orang yang membutuhkan pangan yang
berkalori rendah;
3. Untuk sediaan pemanis buatan kesetaraan kemanisan dibandingkan dengan gula;
4. Tulisan mengandung gula dan pemanis buatan, jika pangan tersebut selain
mengandung pemanis buatan juga mengandung gula.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 46 Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud “produk pangan lainnya” adalah produk pangan yang diperdagangkan
dengan merek dagang. Larangan mendiskreditkan produk lain bertujuan agar konsumen
mempunyai kebebasan memilih berdasarkan pengetahuannya sendiri terhadap suatu
produk pangan tanpa dipengaruhi oleh iklan yang bersifat mendiskreditkan produk lain
sejenis.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pengeksploitasian anak dalam iklan
pangan, khususnya yang semata-mata menampilkan anak-anak dibawah lima tahun
namun bukan untuk pangan yang khusus anak-anak kelompok usia tersebut.
Dalam konteks iklan pangan tersebut, dapat saja menampilkan anak-anak berusia
dibawah lima tahun, namun ditampilkan dalam suatu konteks yang lebih luas, misalnya
bersama keluarga.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah meluasnya konsumsi pangan olahan tertentu
yang mengandung bahan-bahan yang berkadar tinggi, misalnya monosodium glutamat
(MSG), gula, lemak atau karbohidrat, yang dapat membahayakan atau mengganggu
pertumbuhan dan atau perkembangan anak-anak.
Ayat (4)
Persetujuan Menteri Kesehatan yang dimaksud dalam ayat ini hanya merupakan
persetujuan bagi materi iklan, agar dapat lebih terseleksi mengenai penyebarluasan
informasi mengenai pangan yang diperuntukkan bagi bayi, dan semata-mata dilakukan
untuk lebih meningkatkan penggunaan Air Susu Ibu.
Yang dimaksud dengan pangan yang diperuntukkan bagi bayi adalah susu bayi, namun
tidak termasuk makanan pendamping ASI seperti bubur bayi.
Pasal 48 Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50 Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pangan yang diperuntukkan bagi bayi dalam ketentuan ini adalah
makanan pendamping ASI seperti bubur bayi, namun tidak termasuk pangan pengganti Air
Susu Ibu yang lazim disebut susu formula bayi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52 Cukup jelas
Pasal 53
Pangan berbeda dengan obat dan masing-masing mempunyai karakter yang spesifik,
yaitu pangan tidak menyembuhkan sedangkan obat untuk penyembuhan. Pangan tidak
dapat berfungsi sebagai obat, sehingga mengiklankan pangan sebagai obat merupakan
perbuatan yang menipu konsumen.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55 Cukup jelas
Pasal 56 Cukup jelas
Pasal 57 Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol
(C2H5OH) yang dapat diperdagangkan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 59
Kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan sebagaimana diatur
dalam ketentuan ini adalah dalam hal mengawasi kesesuaian atau pemenuhan ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah dengan keterangan atau pernyataan dalam Label dan Iklan
yang beredar di masyarakat.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Huruf a
Pengecualian ini dimaksudkan hanya bagi produk pangan yang kemasannya terlalu kecil,
sehingga secara teknis sulit memuat seluruh keterangan yang diwajibkan sebagaimana
berlaku bagi produk pangan lainnya, yang lazimnya oleh pihak yang memproduksi pangan
yang bersangkutan, pangan tersebut dimasukkan ke dalam kemasan yang lebih besar
yang memungkinkan untuk memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah ini
Selain itu, dalam produk pangan yang dikemas dalam bentuk yang sangat kecil tersebut
tetap perlu dimuat nama dan alamat pihak yang memproduksinya.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan pangan dalam jumlah besar (curah) adalah pangan yang dikemas
dalam wadah, sehingga volume bersih pangan yang bersangkutan lebih dari 500 liter atau
berat bersih pangan yang bersangkutan lebih dari 500 kilogram.
Pasal 64
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3867

Sunday, January 23, 2011

Lactation Aid

Lactation aid adalah sebuah alat bantu untuk memberikan kepada bayi ‘feeding suplement’ yang dilakukan bersamaan ketika bayi sedang menyusu kepada payudara ibu. Feeding suplement bisa berupa asi perah, cairan penambah kalori (misal: glukosa dan kolostrum), ataupun formula. Susu formula HANYA diberikan jika kebutuhan mendesak misal untuk menaikkan berat badan pada bayi prematur. Penggunaan susu formula harus seizin konselor laktasi anda.

Kapan Lactation Aid dibutuhkan?

  • Ketika aliran supply ASI dari payudara terlalu sedikit sehingga perlu tambahan dari ASI perah.
  • Bayi anda membutuhkan tambahan kalori untuk meningkatkan berat badan. Konsultasilah dengan konselor laktasi anda.
  • Bayi mudah lelah ketika proses menyusui. Jadi diharapkan dengan Lactation Aid bayi akan cukup mendapatkan kebutuhannya dalam jangka waktu yang relatif lebih singkat.
  • Ketika memiliki bayi adopsi dan ingin memberikan ASI melalui proses menyusui langsung dari payudara.
  • Ketika sedang melakukan relaktasi.

Lactation Aid relatif lebih bagus daripada anda menggunakan cup feeder (cangkir ASI) atau spoon feeder (botol sendok) terlebih lagi jika dibandingkan dengan artificial nipple feeder (botol dot). Penggunaan botol dot bisa meningkatkan resiko bingung puting.

Lactation Aid bisa anda buat sendiri atau bisa juga membeli yang sudah siap pakai.

Lactation Aid yang siap pakai salah satunya adalah keluaran Medela bernama Supplemental Nursing System (SNS).

Rujuk link berikut untuk mengetahui lebih dalam tentang SNS: http://www.medelabreastfeedingus.com/products/breastfeeding-devices/51/supplemental-nursing-system-sns

Harga pasaran SNS berkisar antara 640.000 sd 600.000.

Anda juga bisa membuat sendiri Lactation Aid dengan biaya yang cukup murah yang akan kami jelaskan di bagian akhir tulisan.

Lactation Aid buatan sendiri bisa menggunakan suntikan tanpa bagian penyedot (gambar 1) atau bisa juga dengan menggunakan botol (gambar 2).

lactation aid dg suntikan
gambar 1. lactation aid dg suntikan
lactation aid dg botol
gambar 2. lactation aid dg botol

Ada 2 cara memasang Lactation Aid, yaitu dengan cara memasang selang terlebih dahulu baru kemudian proses menyusui (gambar 1 dan 2) atau bisa juga dengan memberikannya dengan cara menyelipkan selang ketika proses menyusui tengah berlangsung (lihat video ke-2).

Beberapa hal penting seputar Lactation Aid

  • Posisi botol dan atau suntikan harus sejajar. TIDAK boleh posisinya lebih diatas bayi karena akan membuat aliran terlalu deras. Biarkan bayi meminum sesuai ritme mereka. Satu tips yang bisa dicoba adalah menggunakan baju yang terdapat kantong/saku dada. Botol bisa diletakkan pada saku tersebut. Jika bayi minum dengan ritme yang terlalu cepat posisikan botol/suntikan penampung cairan lebih rendah dari posisi bayi sekitar 15-30 cm di bawah posisi mulut bayi.
  • Ujung selang NGT tidak usah dipotong karena kondisinya sudah ada lubangnya. Jika dipotong ujung selang NGT akan menjadi tajam dan malah berbahaya bagi mulut bayi.
  • Untuk 30ml cairan setidaknya akan dihabiskan dalam jangka waktu 15-20 menit.
  • Selalu lihat kondisi dari selang dan pastikan cairan telah mengalir dengan baik.
  • Salah satu trik yang bisa dilakukan adalah breast compression. Breast compression adalah memijat payudara untuk menstimulasi ASI yg keluar.

Perlengkapan untuk membuat Lactation Aid

  • Selang NGT (nasogastric tube) ukuran 5 French (kadang ditulis dengan 5 Fr). Panjang 100 cm. Harga 15.000
  • Sebuah suntikan ukuran 25ml/30ml. Harga 10.000
  • Botol dot (bisa pakai merek apa saja)

Thursday, January 20, 2011

UU No. 36 Tahun 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara;
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;

Mengingat:
Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia.
11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Bagian Kedua Kewajiban
Pasal 9
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 14
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 18
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Pasal 20
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V
SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Bagian Kedua Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 30
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.
(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.
(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 31
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; dan
b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau Menteri.
Pasal 32
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 33
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 35
(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya.
(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan:
a. luas wilayah;
b. kebutuhan kesehatan;
c. jumlah dan persebaran penduduk;
d. pola penyakit;
e. pemanfaatannya;
f. fungsi sosial; dan
g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing.
(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Perbekalan Kesehatan
Pasal 36
(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
Pasal 37
(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan kesehatan terpenuhi.
(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan.
Pasal 38
(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan kesehatan dengan memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat.
(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.
Pasal 39
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 40
(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.
(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi.
(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh masyarakat.
(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan.
(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.
(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41
(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar pelayanan yang berlaku secara nasional.
Bagian Keempat
Teknologi dan Produk Teknologi
Pasal 42
(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.
(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit.
(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukan penapisan, pengaturan, pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan teknologi dan produk teknologi.
(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji coba teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau hewan.
(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan uji coba.
(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh orang yang berwenang dan dengan persetujuan orang yang dijadikan uji coba.
(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan manusia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan.
Pasal 48
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.
Pasal 49
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya kesehatan.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.
Pasal 50
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.
Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan
Pasal 52
(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
Pasal 54
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.
(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pasal 59
(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.
(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.
Pasal 61
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat.
Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
Pasal 62
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 63
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.
(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 65
(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 72
Setiap orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pasal 74
(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana
Pasal 78
(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah
Pasal 79
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga
Pasal 80
(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat.
(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.
(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.
Pasal 81
(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Bagian Kesepuluh
Pelayanan Kesehatan Pada Bencana
Pasal 82
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pascabencana.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien.
(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada bencana diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 85
(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah
Pasal 86
(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial.
(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor.
(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mencegah penularan penyakit.
Pasal 87
(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit Transfusi Darah.
(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.
Pasal 88
(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit melalui transfusi darah.
Pasal 89
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk pelayanan transfusi darah.
Pasal 90
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 91
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi.
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh Pemerintah.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Belas
Kesehatan Gigi dan Mulut
Pasal 93
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah.
Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
Bagian Ketiga Belas
Penanggulangan Gangguan Penglihatan
dan Gangguan Pendengaran
Pasal 95
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan, dan pendengaran masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat Belas
Kesehatan Matra
Pasal 97
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan standar dan persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 99
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan sediaan farmasi.
Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional .
Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 102
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan.
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 103
(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara rasional.
Pasal 105
(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Belas
Pengamanan Makanan dan Minuman
Pasal 109
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan.
Pasal 110
Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 111
(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.
(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 112
Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan, dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 110, dan Pasal 111.
Bagian Ketujuh Belas
Pengamanan Zat Adiktif
Pasal 113
(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 114
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.
Pasal 115
(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
Pasal 116
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan Belas
Bedah Mayat
Pasal 117
Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.
Pasal 118
(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas upaya identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 119
(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.
(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.
(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.
Pasal 120
(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran.
(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.
(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 121
(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 122
(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 123
(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat dilakukan tindakan pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan transplantasi organ.
(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 124
Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
Pasal 125
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD.
BAB VII
KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK,
REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT
Bagian Kesatu
Kesehatan ibu, bayi, dan anak
Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 127
(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.
Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara eksklusif.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pasal 132
(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 133
(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 134
(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 135
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara sehat.
(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak.
Bagian Kedua
Kesehatan Remaja
Pasal 136
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 137
(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung jawab.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
Pasal 138
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 139
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Pasal 140
Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
BAB VIII
GIZI
Pasal 141
(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang;
b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan;
c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau.
(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara lintas sektor dan antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
Pasal 142
(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
a. bayi dan balita;
b. remaja perempuan; dan
c. ibu hamil dan menyusui.
(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar angka kecukupan gizi, standar pelayanan gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat.
(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk mencapai status gizi yang baik.
Pasal 143
Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.
BAB IX
KESEHATAN JIWA
Pasal 144
(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah psikososial.
(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
Pasal 145
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).
Pasal 146
(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar mengenai kesehatan jiwa.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan layanan informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.
Pasal 147
(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita.
(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 148
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.
Pasal 149
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.
(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Pasal 150
(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum et repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.
Pasal 151
Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
Bagian Kesatu
Penyakit Menular
Pasal 152
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.
(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui lintas sektor.
(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.
(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 153
Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi.
Pasal 154
(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat dan negara lain.
(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
Pasal 155
(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.
(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat.
(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina berpedoman pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 156
(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB).
(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang diakui keakuratannya.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 157
(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua Penyakit Tidak Menular
Pasal 158
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 159
(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit, dan surveilan kematian.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pengendalian penyakit tidak menular.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama lintas sektor dan dengan membentuk jejaring, baik nasional maupun internasional.
Pasal 160
(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan.
(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak benar.
Pasal 161
(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara profesional sehingga pelayanan kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular.
BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN
Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:
a. limbah cair;
b. limbah padat;
c. limbah gas;
d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
e. binatang pembawa penyakit;
f. zat kimia yang berbahaya;
g. kebisingan yang melebihi ambang batas;
h. radiasi sinar pengion dan non pengion;
i. air yang tercemar;
j. udara yang tercemar; dan
k. makanan yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KESEHATAN KERJA
Pasal 164
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.
(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.
(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi kesehatan pada lingkungan tentara nasional Indonesia baik darat, laut, maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 165
(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.
(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.
(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 166
(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

BAB XIII
PENGELOLAAN KESEHATAN
Pasal 167
(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan daerah.
(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XIV
INFORMASI KESEHATAN
Pasal 168
(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien diperlukan informasi kesehatan.
(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui lintas sektor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 169
Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
BAB XV
PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pasal 170
(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain.
Pasal 171
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 173
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 174
(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.

BAB XVII
BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN
Bagian Kesatu Nama dan Kedudukan
Pasal 175
Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan independen, yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang di bidang kesehatan.
Pasal 176
(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat dan daerah.
(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat BPKD berkedudukan di provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berada sampai pada tingkat kecamatan.
Bagian Kedua Peran, Tugas, dan Wewenang
Pasal 177
(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan sesuai dengan lingkup tugas masing-masing.
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan terhadap berbagai informasi dan data yang relevan atau berpengaruh terhadap proses pembangunan kesehatan;
b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang sasaran pembangunan kesehatan selama kurun waktu 5 (lima) tahun;
c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan kesehatan;
d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya untuk pembangunan kesehatan;
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua sumber agar pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi yang ditetapkan;
f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan kesehatan; dan
g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan yang menyimpang.
(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan organisasi dan pembiayaan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB XVIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 178
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Pasal 179
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan;
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan;
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;
e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan;
f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan;
c. pembiayaan.
Pasal 180
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah, dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan.
Pasal 181
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 182
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan upaya kesehatan.
(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 183
Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
Pasal 184
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tenaga pengawas mempunyai fungsi:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan;
b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.

Pasal 185
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan.
Pasal 186
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 188
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.

BAB XIX
PENYIDIKAN
Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 202
Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 203
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 204
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 205
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 200913 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 200913 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 144144
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan